- TVRI Resmi Kantongi Hak Siar Piala Dunia 2026: Dari Fase Grup hingga Final, Seluruh Laga Tayang Grat
- Kapolres Donggala Tekankan Pendekatan Persuasif dalam Konflik Agraria Riopakava
- Komdigi Wacanakan Aturan Baru: Beli Hp Bekas Bakal Mirip Motor, Harus Balik Nama
- Polda Sulteng Perpanjang Operasi Madago Raya Tahap IV, 256 Personel Diterjunkan
- SK Resmi Diserahkan, Nilam Sari Lawira Kembali Jadi Nahkoda DPW NasDem Sulteng
- 2 Oktober Diperingati Hari Batik Nasional, Saatnya Bangga dengan Motif Nusantara
- Batas 60 Hari Habis, 15 IUP Tambang di Sulteng Bisa Dicabut
- Warga Geger Temuan Mayat di Bantaran Sungai Palu
- Pemerintah Pastikan Harga Tiket Pesawat, Kereta, dan Kapal Lebih Murah Saat Libur Nataru
- Tambang Ilegal Jadi Sorotan Wabup Parigi Moutong di Tengah Merebaknya Kasus Malaria
Konflik Agraria di Poso: Warga Ditangkap, Lahan Diklaim Perusahaan
.jpg)
Keterangan Gambar : Koalisi Kawal Pekurehua menggelar aksi. (Foto: Koalisi Kawal Pekurehua )
Likeindonesia.com, Poso — Ketegangan antara warga Desa Watutau, Kecamatan Lore Peore, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, dengan Badan Bank Tanah (BBT) kian memuncak.
Sebanyak 12 warga dituduh menghasut, setelah menolak klaim lahan oleh BBT di atas tanah yang mereka garap secara turun-temurun.
Baca Lainnya :
- BNNP Sulteng Resmi Tempati Gedung Baru Pasca Kerusakan Akibat Bencana 2018
- Polres Morowali Utara Tetapkan 8 Tersangka Usai Bentrokan Dua Kelompok Warga
- Sulteng Kirim 396 Pegiat Olahraga ke FORNAS VIII NTB
- Pencairan Awal Beasiswa Berani Cerdas Dimulai, 267 Mahasiswa Menyusul
- Kabar Baik! Warga Kurang Mampu di Sulteng Bisa Berobat Pakai KTP, Tak Perlu Kartu BPJS Lagi
Satu di antaranya, Christian Toibo, telah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan surat dari Polres Poso.
Penetapan tersangka terhadap Christian Toibo merujuk pada Pasal 160 KUHP terkait penghasutan.
Ia dituding terlibat dalam aksi damai pada 31 Juli 2024 lalu.
Padahal, menurut warga dan organisasi pendamping, aksi itu merupakan bentuk perlawanan terhadap perampasan ruang hidup.
“Penggunaan Pasal 160 KUHP adalah bentuk represif terhadap aksi damai warga yang memperjuangkan ruang hidupnya,” bunyi pernyataan Koalisi Kawal Pekurehua dalam siaran persnya, Rabu (23/7/2025).
Warga Watutau menggantungkan hidup dari bertani dan berkebun di tanah yang mereka kelola secara turun-temurun.
Namun sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 64 Tahun 2021 tentang BBT dan Perpres No. 113 Tahun 2021, lahan mereka masuk dalam wilayah Hak Guna Usaha (HGU) PT Hasfarm, yang kemudian diklaim sebagai bagian dari konsesi BBT.
Koalisi menyebut, proses pengalihan lahan ini tidak melibatkan konsultasi publik, melanggar asas transparansi, serta menyalahi Perpres No. 62 Tahun 2023 yang mewajibkan partisipasi masyarakat dalam setiap agenda reforma agraria.
Menurut mereka, konflik di Watutau mencerminkan wajah konflik agraria di berbagai daerah di Indonesia, di mana kepentingan masyarakat kecil kerap terpinggirkan oleh proyek-proyek besar berbasis investasi.
“BBT tidak menyasar reforma agraria, melainkan difasilitasi untuk kepentingan investasi ekonomi ekstraktif,” tegas pernyataan tersebut.
Atas situasi ini, Koalisi Kawal Pekurehua menyampaikan lima poin sikap.
Kementerian ATR/BPN diminta mencabut Hak Pengelolaan Lahan (HPL) BBT di atas eks-HGU PT Sandabi Indah Lestari di Poso.
Gubernur Sulawesi Tengah didesak memberikan perlindungan dan menyatakan penolakan terhadap keberadaan BBT di atas tanah masyarakat.
Polda Sulawesi Tengah diminta mengusut proses penyidikan yang dilakukan Polres Poso.
Polres Poso didesak menghentikan proses hukum dan mencabut status tersangka Christian Toibo serta membebaskan 11 warga lainnya.
DPRD Sulawesi Tengah diminta menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan mendorong BBT mencabut laporan terhadap warga.
Koalisi menyatakan bahwa praktik kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan tanahnya adalah bentuk nyata pembungkaman demokrasi.
“Ini adalah bentuk nyata pembungkaman terhadap hak warga dalam menyuarakan ketidakadilan,” tegas mereka. (Rul)
