- Pramuka Jadi Sarana Pembinaan Karakter Warga Binaan di Lapas Palu
- Komisi IV DPRD Sulteng Tekankan Proporsi TKA dan Pekerja Lokal dalam Ranperda Ketenagakerjaan
- Harga Beras Naik di Parimo, Pemprov Sulteng Gerak Cepat Stabilkan Pasokan
- Palu Peringati 21 Tahun Penembakan Pdt. Susianti Tinulele, Serukan Pesan Damai dan Toleransi
- Harga Beras Melonjak, Bulog Sulteng Pastikan Stok Aman hingga Tahun Depan
- Pemkot Palu dan Bulog Salurkan 4,4 Ton Beras Bantuan ke Warga Kelurahan Baru
- Tidur Lelap di Kapal Berujung Trauma, Mahasiswi Luwuk Jadi Korban Pelecehan oleh Oknum Dosen
- ASN Kantor Sekda Sulteng Disidak Gubernur, Siapa yang Ketahuan Bolos?
- BMA Sulteng Siapkan Pelaksanaan Sanksi Adat Terhadap Gus Fuad Pleret
- Warga Keluhkan Dugaan Nepotisme dalam Penyaluran Bantuan UMKM di Palu
Dengan Khidmat, Masyarakat Donggala Kembali Mandikan Bulava Mpongeo

Keterangan Gambar : Wakil Bupati Donggala, Taufik M. Burhan, hadir dalam acara tradisi adat Mpandiu Bulava Mpongeo di Desa Towale, Kecamatan Banawa Tengah, Kabupaten Donggala, Minggu (6/7/2025). (Foto: Bimaz/Likeindonesia.com)
Likeindonesia.com, Donggala — Masyarakat Desa Towale, Kecamatan Banawa Tengah, Kabupaten Donggala kembali melaksanakan tradisi adat Mpandiu Bulava Mpongeo atau “memandikan emas mengeong” pada Minggu pagi (6/7/2025), bertepatan dengan 10 Muharam 1447 H.
Ritual ini berlangsung khidmat di rumah keturunan pewaris emas sakral yang terletak di depan Masjid Aulia, Desa Towale. Warga dari berbagai kalangan, tua dan muda, berkumpul untuk menyaksikan langsung prosesi tahunan ini.
Baca Lainnya :
- Slot Gacor, Withdraw Cepat
- Game Slot Gacor Terbaik
- Slot Gacor 2025 Resmi
- Slot Online Langsung Gacor
- Main Slot Gacor? Disini Tempatnya!
Menurut kisah turun-temurun, emas yang dianggap sakral ini berasal dari peristiwa spiritual pada masa Kerajaan Banawa. Saat itu, raja pertama berdoa agar diberi tanda ilahi bagi keturunannya. Doa itu dikabulkan di masa pemerintahan raja kedua, ketika ditemukan sebutir telur saat mencari udang di sungai. Telur tersebut disimpan di dapur (pota pa’a), lalu beberapa hari kemudian memancarkan cahaya dan suara seperti anak kucing mengeong. Peristiwa ini diyakini sebagai pertanda suci, dan emas yang terbentuk dijaga sebagai pusaka.
Filosofi Air dari Empat Sumber Sakral
Salah satu bagian penting dalam ritual Mpandiu Bulava Mpongeo adalah penggunaan air dari empat mata air sakral. Masing-masing air memiliki makna yang mendalam, di antaranya:
1. Uve Lino Tolongano – Air dari Desa Lino, melambangkan kejernihan dan kesegaran hidup.
2. Uve Tupurandu – Air dari Dusun 2, Desa Towale, melambangkan semangat perjuangan.
3. Uve Tumbu – Air dari dalam tanah, melambangkan kekuatan alam dan misteri kehidupan.
4. Uve Pertemuan Sungai dan Laut – Air dari pertemuan sungai dan laut, melambangkan penyatuan alam: darat-laut, manusia-alam, dunia-akhirat.
Keempat air tersebut digunakan dalam prosesi penyucian Bulava Mpongeo, sebagai simbol pembersihan diri dan penghormatan terhadap leluhur. Diketahui pula, air bekas memandikan Bulava Mpongeo oleh sebagian masyarakat dipercaya memiliki khasiat yang menenangkan dan bermanfaat bagi kesehatan. Banyak warga yang meminumnya sebagai bentuk pengharapan dan ikhtiar, bukan sebagai bentuk keyakinan mutlak, melainkan bagian dari tradisi yang dijalani dengan niat baik dan kearifan lokal.
Pelaksanaan tradisi ini melibatkan tokoh adat, tokoh agama, dan pemerintah setempat. Kolaborasi ini mencerminkan filosofi masyarakat Kaili, yaitu Sintuvu (kekuatan dalam kebersamaan) dan Tonda Talusi (harmoni antara adat, agama, dan pemerintahan).
Pelestarian Warisan Leluhur
Tradisi Mpandiu Bulava Mpongeo bukan hanya ritual adat tahunan. Ia menjadi media pelestarian nilai-nilai spiritual, sejarah, dan kearifan lokal yang telah diwariskan sejak zaman Kerajaan Kaili. Melalui prosesi ini, masyarakat tidak hanya membersihkan diri secara simbolik, tapi juga memperkuat hubungan dengan Sang Pencipta dan mengenang asal-usul kehidupan mereka.
Wakil Bupati Donggala, Taufik M. Burhan yang hadir juga turut memberikan apresiasi atas pelestarian budaya tersebut.
“Patut kita bersyukur bahwa salah satu desa di Kabupaten Donggala telah puluhan tahun menjaga warisan leluhur. Upacara memandikan emas ini bukan sekadar tradisi, tetapi bukti nyata pelestarian identitas budaya yang diketahui telah berlangsung sejak abad ke-17,” ungkapnya.
Ia menegaskan pentingnya keterlibatan semua pihak dalam menjaga kelangsungan tradisi ini.
“Ini sudah menjadi kewajiban kita bersama, baik masyarakat maupun pemerintah, untuk terus hadir dalam pelestarian tradisi ini. Bahkan kami sudah berdiskusi dengan tokoh budaya bahwa tradisi ini layak masuk dalam program pelindungan warisan budaya takbenda,” lanjutnya.
Taufik berharap ke depan, Mpandiu Bulava Mpongeo bisa lebih dikenal luas sebagai kekayaan budaya Donggala, baik di tingkat nasional maupun internasional. (Bim)
