Maraknya Tambang di Sulteng Dinilai Picu Ancaman Bencana Ekologis

By Inul Irfani 08 Des 2025, 12:27:21 WIB Daerah
Maraknya Tambang di Sulteng Dinilai Picu Ancaman Bencana Ekologis

Keterangan Gambar : Founder Rasera Project, Aulia Hakim. (Foto: Syahrul/Likeindonesia.com)


Likeindonesia.com, Palu – Maraknya aktivitas pertambangan di sejumlah wilayah Sulawesi Tengah dinilai berpotensi memicu bencana ekologis. 


Pola kerusakan lingkungan yang kini terjadi di wilayah ini disebut memiliki kemiripan dengan situasi di Sumatra, yang dalam beberapa waktu terakhir diterjang banjir dan berbagai bencana ekologis.

Baca Lainnya :


Founder Rasera Project, Aulia Hakim, mengatakan kondisi di Sulawesi Tengah semakin mengkhawatirkan karena beban izin usaha pertambangan dan perkebunan yang terus meningkat. 


Menurutnya, daerah-daerah yang dibebani izin tersebut berada dalam kondisi rentan.


“Pertama kalau kita lihat pola situasi yang terjadi di Sumatra, sebenarnya itu mirip sekali dengan apa yang terjadi di Sulteng,” ujar Aulia Hakim.


Ia menjelaskan bahwa bencana ekologis tidak terjadi secara terpisah-pisah di satu wilayah saja, melainkan bersifat menyebar dan saling terhubung antar daerah.


Peristiwa banjir di Sumatra, menurutnya, juga memiliki keterkaitan dengan yang terjadi di wilayah pesisir Palu dan Donggala.


Aulia menuturkan, saat Sumatra mengalami banjir, kawasan pesisir Palu-Donggala seperti Watusampu juga mengalami kejadian serupa, menunjukkan bahwa siklus bencana tidak hanya terkonsentrasi di satu titik, melainkan menyebar hampir di seluruh Indonesia, termasuk Sulawesi Tengah.


Rasera Project memandang, wilayah yang kini dibebani izin usaha pertambangan dan perkebunan sawit sesungguhnya hanya tinggal menunggu waktu untuk mengalami bencana jika tidak ada upaya mitigasi yang serius.


“Daerah-daerah yang dibebankan dengan izin usaha pertambangan atau izin usaha perkebunan sawit, sebenarnya ini hanya menunggu waktu saja untuk bencana itu hadir,” ujarnya menegaskan.


Dalam pengamatannya, Aulia menyebut terdapat beberapa wilayah yang berpotensi besar mengalami bencana ekologis. 


Di antaranya Morowali yang dipenuhi aktivitas pertambangan, terutama nikel, serta Parigi Moutong yang juga mulai terbebani oleh izin-izin tambang.


Ia menyebut, di Morowali aktivitas pertambangan yang kian masif berdampak pada deforestasi dan menghilangkan fungsi tutupan lahan, sementara di Parigi Moutong, keberadaan izin pertambangan dinilai membuka celah masuknya aktivitas PETI.


Kondisi serupa, bahkan lebih intens, terjadi di Kota Palu dan Kabupaten Donggala. Aulia merujuk pada data perizinan yang tercantum di situs resmi ESDM, yang menunjukkan puluhan izin usaha pertambangan telah terbit di kawasan pesisir Palu–Donggala.


“Kalau kita buka di website ESDM itu bahkan hampir di angka 70-an IUP yang terbit di pesisir Palu-Donggala,” ungkapnya.


Ia memperingatkan, ketika hujan turun dengan intensitas tinggi, maka ketidakseimbangan dari wilayah hulu hingga hilir akan berdampak besar terhadap masyarakat, khususnya yang tinggal di kawasan hilir.


Aulia menjelaskan, saat terjadi curah hujan tinggi, ketidakseimbangan tutupan lahan di wilayah hulu akan membuat masyarakat di wilayah hilir menanggung dampak yang sangat besar.


Lebih jauh, ia menekankan bahwa bencana ekologis tidak semata-mata disebabkan oleh faktor alam, melainkan juga lahir dari kebijakan yang memberikan izin tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan.


“Bencana ekologis itu tidak semata-mata timbul akibat pergeseran alam saja, tapi juga diciptakan oleh kebijakan pemerintah mengeluarkan izin-izin,” tegasnya.


Untuk itu, Rasera Project mendorong pemerintah melakukan monitoring secara ketat terhadap izin pertambangan, khususnya galian C, serta memperkuat pemantauan lingkungan.


Koordinasi antarlembaga dan pemanfaatan data BMKG dinilai krusial untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat.


Ia berharap ada monitoring secara intens dari pemerintah, baik dalam konteks izin maupun pemantauan lingkungan, serta koordinasi antarlembaga untuk memberikan peringatan dini kepada masyarakat.


Aulia juga menekankan pentingnya evaluasi dan penyesuaian tata ruang sesuai dengan kondisi dan ancaman bencana ekologis di masing-masing wilayah.


“Paling terpenting kami menyarankan pemerintah sesegera mungkin dapat mengecek dan menyesuaikan pola ruang atau kesesuaian tata ruang terhadap ancaman-ancaman bencana ekologis di daerah-daerah tersebut,” pungkasnya. (Rul/Nl)




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment

Temukan juga kami di

Ikuti kami di facebook, twitter, Instagram, Youtube dan dapatkan informasi terbaru dari kami disana.