- Pramuka Jadi Sarana Pembinaan Karakter Warga Binaan di Lapas Palu
- Komisi IV DPRD Sulteng Tekankan Proporsi TKA dan Pekerja Lokal dalam Ranperda Ketenagakerjaan
- Harga Beras Naik di Parimo, Pemprov Sulteng Gerak Cepat Stabilkan Pasokan
- Palu Peringati 21 Tahun Penembakan Pdt. Susianti Tinulele, Serukan Pesan Damai dan Toleransi
- Harga Beras Melonjak, Bulog Sulteng Pastikan Stok Aman hingga Tahun Depan
- Pemkot Palu dan Bulog Salurkan 4,4 Ton Beras Bantuan ke Warga Kelurahan Baru
- Tidur Lelap di Kapal Berujung Trauma, Mahasiswi Luwuk Jadi Korban Pelecehan oleh Oknum Dosen
- ASN Kantor Sekda Sulteng Disidak Gubernur, Siapa yang Ketahuan Bolos?
- BMA Sulteng Siapkan Pelaksanaan Sanksi Adat Terhadap Gus Fuad Pleret
- Warga Keluhkan Dugaan Nepotisme dalam Penyaluran Bantuan UMKM di Palu
Dari Buku ke Media Sosial: Apakah Sastra Sedang Kehilangan Jiwanya?

Keterangan Gambar : Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Alkhairaat (UNISA) Palu, Nasim Taha. (Foto: Ist)
Di masa lalu, sastra hadir dengan khidmat di antara halaman-halaman buku, dibaca dengan tenang di ruang-ruang sunyi, dan dinikmati sebagai ruang kontemplasi. Namun kini, di era digital, sastra mengalami perkembangan yang sangat pesat. Puisi hadir dalam bentuk caption di media sosial seperti Instagram, Facebook, dan platform lainnya; cerpen ditulis dalam bentuk utas dan novel beranak-pinak di berbagai platform digital. Sastra tak lagi hanya tinggal di rak-rak perpustakaan atau toko buku—ia kini hidup dalam layar, menyusup di antara notifikasi dan scroll media sosial yang tiada henti.
Perubahan medium ini tentu membawa dampak yang tak bisa diabaikan. Ketika dulu sastra adalah ranah keheningan dan kedalaman, kini ia beradaptasi menjadi cepat, ringan, dan visual. Puisi di media sosial tampil dengan gaya minimalis, bahasa lugas, dan desain estetis—menjadi bentuk baru yang digandrungi generasi muda. Cerita-cerita pendek viral lebih mementingkan alur cepat dan punchline (lelucon) yang mengena ketimbang kedalaman naratif atau eksperimentasi gaya.
Apakah ini kemunduran? Atau evolusi sastra?
Di satu sisi, kita menyaksikan demokratisasi sastra. Siapa pun kini bisa menulis dan membagikan karya mereka tanpa harus melalui penerbit besar atau media sastra mapan. Penulis muda bermunculan dari berbagai kota dan latar belakang, membuktikan bahwa suara sastra tak lagi menjadi milik atau dimonopoli elite budaya. Namun di sisi lain, sastra yang lahir dan tumbuh di ekosistem media sosial juga tak lepas dari logika algoritma—popularitas, like, dan share menjadi ukuran keberhasilan.
Baca Lainnya :
- Untuk Literasi! Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia UNTAD Lawan Kesenjangan Membaca
- Angka Wisatawan Naik Terus, Sulteng Makin Diminati Buat Liburan!
- Donggala GAS dan One Day One Service: Dua Program Unggulan Polres Donggala untuk Masyarakat
- IKAMABASTRA Soroti Keterlambatan Hadiah Porseni MABA FKIP UNTAD
- Swiss-Belhotel Silae Palu Wujudkan Pernikahan Impian ala Hotel Berbintang
Inilah yang kemudian menimbulkan kegelisahan. Apakah sastra hari ini benar-benar masih ditulis untuk menyampaikan makna, atau sekadar untuk disukai? Ketika yang viral dianggap lebih penting daripada yang bernas, kita bisa jadi sedang menyaksikan pergeseran nilai. Sastra, alih-alih menjadi ruang ekspresi dan refleksi, mulai terjebak dalam siklus produksi konten yang cepat dan dangkal.
Namun tentu, tak semua patut diratapi. Justru dari sinilah pertaruhan terletak: bagaimana mempertahankan yang reflektif, yang jujur, yang mendalam di tengah derasnya arus digitalisasi. Mungkin bentuknya berubah, gayanya menyesuaikan zaman, namun esensinya bisa tetap dijaga. Tugas ini tak hanya menjadi tanggung jawab penulis, tetapi juga pembaca—berani memilih, menyelami, dan menghargai karya yang lebih dari sekadar viral.
Sastra hari ini memang berada di persimpangan jalan, antara buku dan layar, antara kedalaman dan kecepatan, antara makna dan algoritma. Namun justru di sanalah peluang muncul. Mungkin jiwa sastra tidak hilang, ia hanya sedang mencari cara baru untuk bertahan dan menyapa generasi barunya.
Oleh: Nasim Taha, S.Pd, M.Pd, Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Alkhairaat (UNISA) Palu.
