- Pramuka Jadi Sarana Pembinaan Karakter Warga Binaan di Lapas Palu
- Komisi IV DPRD Sulteng Tekankan Proporsi TKA dan Pekerja Lokal dalam Ranperda Ketenagakerjaan
- Harga Beras Naik di Parimo, Pemprov Sulteng Gerak Cepat Stabilkan Pasokan
- Palu Peringati 21 Tahun Penembakan Pdt. Susianti Tinulele, Serukan Pesan Damai dan Toleransi
- Harga Beras Melonjak, Bulog Sulteng Pastikan Stok Aman hingga Tahun Depan
- Pemkot Palu dan Bulog Salurkan 4,4 Ton Beras Bantuan ke Warga Kelurahan Baru
- Tidur Lelap di Kapal Berujung Trauma, Mahasiswi Luwuk Jadi Korban Pelecehan oleh Oknum Dosen
- ASN Kantor Sekda Sulteng Disidak Gubernur, Siapa yang Ketahuan Bolos?
- BMA Sulteng Siapkan Pelaksanaan Sanksi Adat Terhadap Gus Fuad Pleret
- Warga Keluhkan Dugaan Nepotisme dalam Penyaluran Bantuan UMKM di Palu
Apakah dia mengalami Depresi? Cek Bicaranya

Jakarta, Beberapa orang pandai menyembunyikan perasaan, dari luar tampak baik-baik saja meski hatinya menangis tercabik-cabik. Para ilmuwan baru-baru ini berhasil menentukan dengan tepat tingkat keparahan depresi berdasarkan cara berbicara.
Dalam penelitian yang diklaim sebagai yang terbesar di dunia tersebut, para ilmuwan menemukan bahwa cara berbicara susah dipalsukan ketika seseorang sedang depresi. Perubahan cara bicara itu bisa dipakai untuk mengukur tingkat keparahan depresi yang dialami.
Adam Vogel, kepala Speech Neuroscience Unit di University of Melbourne mengatakan bahwa cara berbicara adalah penanda kesehatan otak yang sangat kuat. Berbagai perubahan yang terjadi pada cara berbicara bisa menunjukkan seberapa bagus otak bekerja.
"Cara berbicara orang yang sedang depresi berubah dan dipengaruhi oleh terapi yang diberikan, menjadi lebih cepat dengan jeda yang lebih pendek," kata Vogel dalam laporannya di jurnal Biological Psychiatry seperti dikutip dari Medindia, Selasa (21/8/2012).
Dalam penelitian tersebut, Vogel melakukan pengamatan terhadap 105 pasien yang sedang menjalani terapi untuk menyembuhkan depresi. Beberapa hal yang diamati antara lain waktu, nada dan intonasi bicara yang kemudian dibandingkan dengan hasil pemeriksaan psikologis.
Para pasien diminta melakukan panggilan telepon ke sebuah mesin penjawab otomatis. Ada yang diminta berbicara apa saja, mengungkapkan perasaan dan sebagian hanya diminta untuk membaca teks supaya tidak perlu repot-reopot memikirkan mau bicara tentang apa.
"Temuan ini memungkinkan para psikolog jadi lebih fleksibel dalam memeriksa pasien dari jarak jauh, hanya dengan mendengarkan pola dan cara berbicara meski dari lokasi yang sangat jauh atau di kampung-kampung," kata James Mundt dari Centre for Psychological Consultation di Wisconsin.
